Mahkamah Konstitusi telah membacakan putusannya, dan kini beberapa pakar hukum tata negara mulai melakukan kajian terhadap keputusan tersebut ada beberapa pihak menyatakan sebagai berikut 'Saat dinyatakan putusan MK ya dituruti, dong"
saya sepakat setiap putusan hukum wajib dihormati, hanya saja menjadi dasar hukum melakukan penundaan pemilu untuk DPRD melanggar pasal 22 E UUD 1945. Terbayang kan, klw itu terjadi bila penundaan itu untuk pilpres sebelum pemilu 2024 pasti akan terjadi kekisruhan politik.
Menjadi pertanyaan selanjutnya apakah UU yang telah berkesesuaian dengan UUD 1945 dapat ditafsir berbeda oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga mempengaruhi suatu frasa dalam pasal pasal yang secara jelas diatur dalam UUD 1945.
Apakah dalam Pasal 24C UUD 1945 MK diberi kewenangan untuk melakukan tafsir perubahan makna UUD 1945 melalui Uji materiil. Disinilah kembali lagi harus dilihat kewenangan MK. bila menghormati putusan MK maka MPR harus melakukan amandemen UUD 1945 agar secara konstitusional mengizinkan terjadinya perpanjangan waktu untuk pemilu DPRD. Dan MK dapat memperluas makna tafsir UUD 1945.
Bagaimana cara melaksanakan pemilu yang sudah ditetapkan 5 tahun sekali berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen yang mengunci agar tidak ada celah penundaan maupun percepatan pemilu karena sebelum amandemen UUD 1945 pasal 22 E, telah terdapat sejarah bahwa pemilu tidak dilaksanakan 5 tahun sekali yaitu pada masa Soekarno dimana pada tahun 1955 pemilu dilaksanakan dan karena tidak keselarasan pemerintah akhirnya Bung Karno pun mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang memutuskan untuk membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955.
Lalu pemilu ke 2 masa Soeharto pada tahun 1971 memilih DPR, DPRD 1 dan DPR 2, lalu pemilu ke 3 pada tahun 1977 dan pernah terjadi juga pada tahun 1997 pemilu dan dilaksanakan kembali pemilu pada tahun 1999. Sehingga untuk menjaga kepastian waktu pemilu 5 tahunan maka MPR melakukan amandemen ke 3 UUD 1945 pada sidang tahun MPR pada 10 November 2001 dan menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
Sehingga apabila MK memiliki pertimbangan hukum dan hal tersebut apakah dipandang kesesuaian dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugasnya sebagaimana Amanat UUD 1945. Maka sudah tugas MPR lah sebagai pemegang legesi dalam membuka kebuntuan Konstitusi ini yaitu melakukan amandemen UUD 1945.
Ada beberapa pakar tidak sepakat ditariknya MPR dalam menyelesaikan kebuntuan ini, dan ada beberapa pakar menyatakan MPR adalah solusi dengan kewenangan diberikan salah satunya amandemen UUD 1945 sehingga memecahkan kebuntuan Konstitusional. Terkait penundaan pemilu DPRD selama 2 hingga 2.5 tahun lamanya. Yang dalam artian mensampingkan pasal 22E UUD 1945.
MK memperluas tafsir pilkada masuk dalam rezim pemilu.
Bahwa sebagaimana Pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis".
Sehingga bisa saja menafsirkan pilkada masuk dalam rezim pemilu bila dikaitkan dengan UU Nomor 32 tahun 2004 sehingga pilkada pertama kali tahun 2006. Hal ini kerena memiliki dasar untuk memperkuat open legal policy pembuat UU. Dan putusan MK nomor 97/2013 yang menyatakan tidak berwenang dalam sengketa pilkada karena tidak masuk katagori rezim pemilu sebagaimana tidak tercantum jelas dalam UUD 1945. Dan putusan MK nomor 85/2022 menyatakan berwenang dikarenakan Pembuat Undang Undang tidak membentuk pengadilan khusus sedangkan proses tahapan pilkada telah berjalan sehingga bila pemerintah dan DPR baru akan membentuk agar terjadi kepastian proses MK menyatakan peradilan khusus untuk pemilu 2024 merupakan inkonstitusional.
Kini pada putusan MK nomor 135/2024 kembali lagi melegitimasi pilkada masuk dalam pemilu. Sehingga dianggap telah mengunci keinginan pemerintah dan DPRD untuk pilkada keluar dari pemilu dan dipilih melalui mekanisme pemilihan di DPRD.
Yang harus dipahami bahwa tidak ada aturan periode dalan pilkada berapa tahun sekali harus dilaksanakan dan apakah harus melalui pemilu atau mekanisme lainnya hal tersebut tidak diatur dalam UUD 1945 sehingga bisa ditafsir oleh MK lalu bagaimana dengan DPRD yang secara jelas tertulis dalam Pasal 22E. Dan ada jangka waktu yang diberikan?
Dr. Ridwan Syaidi Tarigan
Founder RST. Law Firm