..::SELAMAT DATANG DI RIDWAN SYAIDI TARIGAN & PARTNERS::.. ADVOKAT | PENGACARA | KONSULTAN HUKUM::......

Advokat yang berdaulat bukan organisasi

Frasa “satu-satunya” dalam Pasal 28 ayat (1) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tidak semata-mata ditafsirkan bahwa organisasi advokat harus tunggal, tetapi bisa juga berbentuk federasi dengan satu kode etik advokat bersama.   

“Sebenarnya putusan MK sebelumnya, organisasi advokat sudah ditafsirkan tidak harus tunggal, tetapi kode etiknya harus satu,” kata Prof Syarifuddin Natabaya saat dimintai keterangannya sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Advokat di Gedung MK, Selasa (8/3).

Selain Natabaya, ahli lainnya adalah Prof JE Sahetapy dan Adnan Buyung Nasution yang sengaja dihadirkan oleh pemohon. Permohonan ini diajukan beberapa pemohon yakni Abraham Amos (advokat KAI), Frans Hendra Winata (Ketua Umum Peradin), dan sejumlah Advokat KAI. Mereka menguji Pasal 28 ayat (1) terkait pembentukkan wadah tunggal organisasi advokat, dan Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat.        

Belakangan status "wadah tunggal" memang diperebutkan. Hegemoni Peradi digoyang oleh keberadaan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Perseteruan sebenarnya sempat mereda ketika Peradi dan KAI, masing-masing pimpinannya menandatangani nota kesepahaman damai di Mahkamah Agung.

Namun, alih-alih damai, perseteruan justru meruncing. Penyebabnya adalah terbitnya KMA No 089 Tahun 2010. Melalui KMA itu, MA hanya mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat. MA berdalih penetapan Peradi sebagai wadah tunggal merupakan hasil kesepakatan antara pimpinan KAI dan Peradi.

Menurut pemohon, KMA 089 berdampak pada advokat atau calon advokat di luar Peradi. Mereka merasa kesulitan beracara dan disumpah oleh Pengadilan Tinggi.

Menurut Natabaya, frasa “satu-satunya” dalam Pasal 28 ayat (1) mengandung pemaksaan adanya satu wadah tunggal yang bertentangan dengan UUD 1945. “Syarat penyumpahan advokat oleh pengadilan tinggi juga bukan syarat konstitutif, tetapi hanya untuk mengesahkan beracara di persidangan. Karenanya, tidak tepat jika MA melarang advokat bersidang jika belum disumpah,” katanya.         

Natabaya menilai pembentukan Peradi sebagai wadah tunggal tidak sejalan dengan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat. Sebab, pembentukannya dilakukan oleh organisasi advokat bukan oleh para advokat yang memegang kedaulatan untuk membentuk wadah tunggal itu. “Di sinilah mulai timbul friksi-friksi,” ujarnya.

Prof JE Sahetapy meminta MK menata kembali UU Advokat secara mendetil lewat uji materi ini khususnya menyangkut bentuk organisasi advokat. Menurutnya, pilihan bentuk organisasi advokat apakah berbentuk single bar association, multi bar association, atau federation bar association sebenanya hal yang sah-sah saja.  

“Ke depan perlu organisasi advokat berbentuk federation bar association dengan mutlak ditegakkan satu kode etik profesi advokat demi mencegah ‘kutu loncat’, makanya UU Advokat harus di-review,” katanya. 

Cacat Yuridis
Sementara Adnan Buyung Nasution berpendapat organisasi advokat harus dibentuk oleh para advokat itu sendiri karena tiap-tiap advokat memiliki hak asasi. “Para advokat secara mandiri berhak untuk mendirikan organisasi advokatnya sendiri, model bottom up atau dari bawah ke atas, bukan sebaliknya,” kata Buyung.

“Inilah cacat yuridisnya pembentukan Peradi yang dibentuk dari atas ke bawah yang tak sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU Advokat, sehingga menimbulkan masalah yang sampai sekarang belum selesai.”      

Menurutnya, organisasi advokat berbentuk tunggal sudah tepat agar tercipta organisasi advokat yang kuat. “Seperti pendapat Daniel S Lev pernah mengatakan civil society kuat kalau bar association kuat, tak ada undang-undang yang lolos tanpa bar association dan masyarakat juga akan mudah meminta pertanggunjawaban terhadap perilaku advokat kalau hanya ada satu organisasi advokat kokoh.”

Dengan demikian, adanya satu bar association bukanlah hal yang melanggar konstitusi. “Lihat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cuma ada satu,” ujarnya mencontohkan.

Meski demikian ia tak menampik kondisi faktual bahwa organisasi advokat saat ini begitu banyak. “Saya pun dengan rela harus melepaskan pikiran saya, biarkanlah mereka tumbuh menjadi kekuatan yang besar yang dapat bertanggung jawab kepada masyarakat,” harapnya.

RSTP Pengacara
Negara yang kuat di bangun atas pondasi yang kokoh berdasarkan
"Tuhan Yang Maha Esa"

Kebenaran itu ada kalau tahu sumbernya, hukum bisa ditegakkan kalau tahu caranya, sumber dari segala kebenaran dan keadilan adalah
"Tuhan Yang Maha Esa"